Jakarta – Menteri Negara Otonomi Daerah periode 1999-2000, Profesor Muhammad Ryaas Rasyid menyatakan kekecewaannya terhadap implementasi otonomi daerah (otda).
Ryaas menganggap otda belum menyejahterakan masyarakat, dan cenderung berjalan mundur akibat kurangnya bimbingan dan pengawasan pemerintah pusat.
“Kalau saya bilang sedih terlalu pakai perasaan, tapi saya kecewa (dengan implementasi otda saat ini) sebab belum mencapai tujuannya,” ujar Prof Ryaas saat berbincang dengan Eddy Wijaya dalam podcast EdShareOn yang tayang pada Rabu, 18 September 2025.
“Pemberian kewenangan (otda) ke daerah harus diiringi dua tindakan, pertama pemerintah pusat harus menyupervisi pemerintah daerah supaya tidak keliru, yang kedua pengawasan (ke pemerintah daerah) sebab potensi terjadinya penyimpangan dan kekeliruan selalu ada,” kata dia menambahkan.
Menurut Prof. Ryaas, otda masih gagal karena angka kemiskinan di sejumlah daerah masih tinggi. Hal itu karena pemerintah pusat maupun daerah tidak mampu memanfaatkan otda untuk menjalankan program-program peningkatan kesejahteraan.
“Cita-cita kita waktu itu, yang menggagas ini (otda) ramai-ramai, itu minimal 10 tahun, paling lambat 20 tahun setelah implementasi otda, terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Sekarang nilai
sendiri, semakin meningkat atau tidak? Kemiskinan (malah) bertambah,” katanya.
Diketahui, kebijakan otonomi daerah kembali menjadi sorotan belakangan ini setelah pemerintah banyak memangkas kewenangan serta anggaran di berbagai daerah.
Akibatnya banyak daerah terpaksa mencari jalan pintas untuk meningkatkan pendapatan mereka melalui berbagai cara. Salah satunya yang menuai gelombang demonstrasi adalah peningkatan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (PBB P2).
Pasca reformasi, Prof Ryaas merupakan tokoh yang mengawal kebijakan ini sejak era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Prof. Ryaas mengatakan, pemerintah pusat seharusnya mampu memetakan problematika ekonomi yang dihadapi masing-masing daerah. Ini karena ada perbedaan kearifan lokal maupun kekayaan sumber daya alam setiap daerah.
“Kau (pemerintah) mesti tahu sebab-sebab terjadinya kemiskinan di suatu daerah. Karena berbeda antara penyebab kemiskinan di Papua, di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sehingga pendekatannya mesti berbeda. Jadi tidak bisa secara serampangan mengatasi kemiskinan dengan satu program nasional yang seragam. Itu menggambarkan ketidakmampuan berpikir,” katanya.
Kendati demikian, Prof. Ryaas menjelaskan, otda berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sejak penerapannya, karena pemerintah daerah bisa mandiri untuk mengolah sumber daya yang mereka miliki.
“Tanpa kewenangan itu, mandek dia (pemerintah daerah). Sumber-sumber keuangan itu tidak selalu dari sumber daya alam, dari sumber lain juga bisa. Itu bisa secara kreatif diciptakan kalau ada kewenangan,” kata Doktor Ilmu Politik Universitas Hawaii, Amerika Serikat itu.
Oleh sebab itu, Prof. Ryaas berharap Pemerintah mampu menjalankan suatu program untuk menekan kemiskinan di Indonesia. Misalnya, program pembebasan semua biaya pendidikan
bagi masyarakat.
“Kita harus sepakat dulu apa sih yang harus kita prioritaskan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah? Di samping soal-soal manajemen pemerintahan, pelayanan, pemberdayaan, harus ada fokus bagaimana mengatasi kemiskinan,” ucapnya.
“Salah satu yang memberi kontribusi pada usaha mengatasi kemiskinan itu adalah pendidikan. Jadi yang bisa dituntut oleh masyarakat daerah dan masyarakat Indonesia seluruhnya adalah pendidikan gratis,” ucapnya. (*)