
Jakarta – Pemerintah Indonesia memutuskan tidak membalas kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat. Sebagai gantinya, Indonesia memilih jalur diplomasi dan negosiasi demi menjaga hubungan dagang jangka panjang dan stabilitas ekonomi nasional.
“Kita diberi waktu sangat singkat, sampai 9 April. Indonesia sedang menyiapkan rencana aksi dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap impor dan investasi dari AS,” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Minggu (6/4/2025).
Pemerintah aktif berkoordinasi lintas kementerian dan menjalin komunikasi dengan USTR, U.S. Chamber of Commerce, serta negara mitra lainnya untuk menyusun strategi yang tepat.
Pemerintah juga mencermati dampak tarif terhadap industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki. Sektor ini rawan terdampak, sehingga akan mendapat dukungan berupa insentif agar tetap kompetitif.
Tarif baru AS mulai berlaku 9 April 2025. Namun, beberapa produk dikecualikan, termasuk alat medis, produk kemanusiaan, baja, aluminium, semikonduktor, logam mulia, dan energi yang tidak tersedia di AS.
Pemerintah akan menggelar forum dengan asosiasi industri pada Senin (7/4) untuk menjaring masukan terkait dampak kebijakan tarif ini.
“Seluruh pelaku industri akan kita undang untuk memberi masukan, terutama dari sektor ekspor dan padat karya,” ujar Airlangga.
Selain menghadapi tarif AS, pemerintah juga menyiapkan strategi untuk memperluas pasar ke Eropa sebagai alternatif penting setelah China dan AS.
“Pasar Eropa harus kita dorong sebagai peluang ekspor baru,” tutup Airlangga. (Red/IP)