IPW Apresiasi Kejagung Ungkap Korupsi Yudisial, Desak Ketegasan dalam Kasus Zarof Ricar

8
Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso.

Jakarta – Indonesia Police Watch (IPW) menyampaikan apresiasi atas langkah tegas Kejaksaan Agung dalam membongkar praktik judicial corruption atau korupsi di lingkungan peradilan, termasuk dalam kasus vonis bebas Ronald Tannur di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dan perkara korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO).

Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, menyatakan pengungkapan kasus yang melibatkan hakim sebagai pelaku korupsi merupakan langkah strategis untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan keadilan.

“Dengan dibongkarnya praktik nakal hakim di peradilan, maka akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Ini menempatkan Kejagung selangkah di depan KPK dan Polri dalam penanganan kasus korupsi,” ujar Sugeng, Senin (14/4).

IPW juga menyoroti metode pengungkapan yang dilakukan Kejaksaan Agung dalam membongkar praktik korupsi di peradilan. Menurut Sugeng, Kejagung menunjukkan kecermatan dengan memantau komunikasi para pihak dalam perkara, termasuk melalui jalur-jalur komunikasi seperti panitera dan pihak ketiga. Hal ini menunjukkan penggunaan strategi penyadapan dan pemantauan sebagai bagian dari teknik investigasi.

Baca Juga:  IPW Kecam Pengiriman Kepala Babi ke Kantor Tempo

“Judicial corruption harus menjadi prioritas dalam pemberantasan korupsi, agar peradilan tetap menjadi tempat mencari keadilan, bukan arena transaksi dan jual beli perkara,” tegas Sugeng.

Namun demikian, IPW juga memberikan catatan kritis terhadap penanganan kasus Zarof Ricar. Menurut IPW, Kejagung terlihat “loyo” dalam mengungkap peran Zarof sebagai gatekeeper atau penyimpan uang haram yang diduga digunakan untuk mengamankan hakim-hakim dalam berbagai perkara.

“Uang sebesar Rp915 miliar yang disita seharusnya menjadi pintu masuk mengungkap keterlibatan aktor lainnya. Namun dakwaan terhadap Zarof justru hanya terkait gratifikasi, bukan suap. Ini menjadi tanda tanya besar,” papar Sugeng.

Sugeng menjelaskan bahwa dalam praktik korupsi besar, biasanya terdapat sosok gatekeeper yang menjadi simpul utama aliran dana ilegal. Hal ini telah lama menjadi pola umum dalam investigasi korupsi, termasuk di Amerika Serikat.

Dalam perkara Ronald Tannur, praktik judicial corruption mulai terungkap setelah vonis bebas yang dijatuhkan majelis hakim pada 24 Juli 2024. Terdakwa yang terlibat dalam kematian Dini Sera dinyatakan tidak terbukti melakukan pembunuhan atau penganiayaan, meski jaksa menyampaikan dakwaan kuat.

Baca Juga:  Kemenag Siap Dukung Implementasi Jaminan Produk Halal

Namun, tiga bulan berselang, tepatnya pada 23 Oktober 2024, Kejagung menangkap tiga hakim PN Surabaya, yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, serta seorang pengacara bernama Lisa. Penanganan kasus ini kemudian menjalar hingga penangkapan Rudi Suparmono, mantan Ketua PN Surabaya.

Kejagung kemudian menemukan pola serupa dalam perkara ekspor CPO yang diputus bebas oleh PN Jakarta Pusat pada 17 Maret 2025. Pada 12 April 2025, Kejagung menangkap Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, bersama Panitera Muda Wahyu Gunawan, serta dua advokat, Marceila Santoso dan Aryanto, atas dugaan menerima suap senilai Rp60 miliar.

Hanya sehari berselang, tiga hakim lainnya juga ditetapkan sebagai tersangka: Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto—yang memvonis bebas tiga korporasi besar, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.

IPW menegaskan bahwa keberanian Kejagung harus terus dikawal publik agar tidak berhenti pada penindakan individu semata, tetapi mampu mendorong reformasi menyeluruh dalam sistem peradilan.

Baca Juga:  Presiden Lantik Susi Marleny Bachsin Jadi Duta Besar Indonesia

“Masyarakat menaruh harapan besar agar lembaga peradilan menjadi tempat mencari keadilan yang jujur, transparan, dan bebas dari pengaruh politik maupun uang,” pungkas Sugeng. (Red)

\ Get the latest news /