Dianggap Merugikan Lingkungan dan Masyarakat, Gerakan #BersihkanIndonesia Kecam Revisi UU Minerba

31

Bengkulu – Gerakan #BersihkanIndonesia mengecam pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) oleh DPR RI. Revisi ini dinilai memperkuat dominasi industri ekstraktif, mengabaikan hak masyarakat terdampak, dan menjauhkan Indonesia dari agenda transisi energi yang berkeadilan.

Alih-alih membawa perbaikan, revisi UU Minerba justru memperpanjang ketergantungan pada industri batubara dan memfasilitasi ekspansi pertambangan tanpa mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial.

Salah satu poin kritis dalam revisi ini adalah pengutamaan kebutuhan batubara dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO), yang berpotensi menghambat transisi ke energi bersih. Selain itu, revisi ini tidak mengubah tata ruang dan kawasan bagi pemegang izin tambang (IUP, IUPK, IPR), yang menunjukkan keberpihakan pada kepentingan korporasi dibandingkan perlindungan lingkungan dan hak masyarakat. Banyak izin tambang yang tumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat adat dan petani, yang seharusnya dipulihkan demi keadilan ekologis dan sosial.

Greenpeace Indonesia menyoroti lemahnya komitmen perlindungan lingkungan dalam revisi UU ini. Persyaratan audit lingkungan dalam perpanjangan kontrak karya dan PKP2B tidak disertai sanksi tegas bagi perusahaan yang merusak lingkungan.

Baca Juga:  Pasar Modal Indonesia Tunjukkan Pertumbuhan Positif

“Banyak perusahaan tambang mengabaikan pemulihan lahan bekas tambang, meninggalkan lubang-lubang yang membahayakan masyarakat dan ekosistem,” ujar Bondan Andriyanu, Juru Bicara #BersihkanIndonesia dan Team Leader Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Revisi UU Minerba juga dinilai mengabaikan potensi energi terbarukan. Sisilia Nurmala dari 350 Indonesia menegaskan, “Energi terbarukan seperti surya, angin, dan air memiliki potensi besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Seharusnya, pemerintah mendorong energi terbarukan berbasis masyarakat dengan regulasi yang memudahkan.”

Ketentuan baru dalam Pasal 169A yang memperpanjang izin operasi tambang hingga 10 tahun tanpa evaluasi ketat semakin mengukuhkan dominasi industri batubara. Pasal 51B yang membuka peluang pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) prioritas untuk hilirisasi juga dinilai memperdalam ketergantungan ekonomi Indonesia pada batubara.

ICW menilai Pasal 51 masih kental dengan nuansa politik patronase. Egi Primayogha, Peneliti ICW, menyatakan, “Skema ini rentan disalahgunakan oleh pengusaha besar yang menyamar sebagai UMKM atau koperasi. Tanpa evaluasi ketat, pemberian WIUP dapat menyebabkan eksploitasi tambang berkepanjangan yang merusak lingkungan.”

Baca Juga:  Blue Helmet Evakuasi Korban dan Bersihkan Rumah Warga Terdampak Banjir Bekasi

Wahyu Eka Styawan, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, menambahkan, “Revisi UU Minerba akan memperparah dampak lingkungan bagi masyarakat sekitar PLTU dan menghambat transisi energi bersih. Kebijakan ini menunjukkan bahwa kepentingan industri batubara lebih diutamakan daripada perlindungan lingkungan dan kesehatan rakyat.”

Ali Akbar dari Sumatera Terang untuk Energi Terbarukan (STUEB) menekankan bahwa revisi ini berpotensi memicu konflik horizontal antara masyarakat korban pertambangan dengan ormas, UMKM, dan koperasi.

“Keterlibatan ormas dan perguruan tinggi dalam bisnis tambang akan menggeser peran mereka dan memperparah konflik sosial,” ujarnya.

Revisi UU Minerba juga dinilai meningkatkan risiko kekerasan dan pelanggaran HAM. Muhamad Isnur, Ketua Umum YLBHI, menyatakan, “Revisi ini mempertahankan ketentuan kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya. Sistem perizinan yang ditarik ke pusat juga menjauhkan akses layanan publik dari masyarakat terdampak.”

Gerakan #BersihkanIndonesia menuntut Presiden membatalkan pengesahan UU Minerba dan mendesak DPR serta pemerintah segera menyelesaikan pembahasan RUU EBET dengan prinsip keadilan energi, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

“Kami menyerukan kepada masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas terdampak untuk terus mengawal dan menolak regulasi yang mengorbankan lingkungan dan generasi mendatang,” tegas Bondan Andriyanu.

\ Get the latest news /