Sumatera — Peringatan Hari Bumi tahun ini menjadi momentum penting bagi Koalisi Sumatera Menolak Punah untuk menyuarakan perlawanan terhadap ekspansi energi kotor, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang mendominasi sistem kelistrikan di Pulau Sumatera. Tema “Sumatera Menolak Punah” bukan sekadar slogan, tetapi merupakan seruan keras untuk mempercepat transisi menuju energi bersih, adil, dan berkelanjutan.
Pulau Sumatera, yang dahulu dikenal sebagai rumah bagi hutan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati, kini berada di persimpangan sejarah. Ekspansi PLTU batubara telah menyebabkan kerusakan lingkungan serius, memperparah krisis iklim global, dan merenggut kualitas hidup masyarakat sekitar.
Berdasarkan pemantauan Koalisi selama dua tahun terakhir terhadap sembilan PLTU batubara di Sumatera, ditemukan 47 pelanggaran pengelolaan lingkungan hidup. Dari total temuan tersebut, hanya 12 kasus yang telah dilaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup. Namun, penegakan hukum masih dinilai lemah dan belum mampu menghentikan laju perusakan.
Ali Akbar, Konsolidator Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB), menyatakan bahwa berbagai kebijakan energi nasional, seperti co-firing, gasifikasi batubara, dan pemanfaatan biomassa, hanyalah strategi semu yang tetap melanggengkan ketergantungan terhadap batubara.
Dampak PLTU terhadap kesehatan juga mengkhawatirkan. Syukur dari Apel Green Aceh mencatat sebanyak 512 kasus ISPA dan 174 penyakit kulit di sekitar PLTU Nagan Raya, Aceh, yang diduga kuat disebabkan oleh polusi udara dari pembangkit tersebut. Ia menegaskan, “Solusi terbaik untuk keselamatan rakyat adalah pensiun dini PLTU 1 dan 2 Nagan Raya.”
Di Riau, Wilton Amos Panggabean dari YLBHI-LBH Pekanbaru menyoroti penderitaan warga akibat PLTU Tenayan Raya, di tengah perubahan cuaca ekstrem dan krisis air bersih di Sungai Siak. Sementara di Jambi, Hardi Yuda dari Lembaga Tiga Beradik menyebut bahwa lubang-lubang tambang terbuka dibiarkan tanpa reklamasi, bahkan situs cagar budaya pun ikut terancam.
Sumiati Surbakti dari Yayasan Srikandi Lestari Sumatera Utara mengungkapkan bahwa ketergantungan negara terhadap batubara menunjukkan kegagalan dalam memprioritaskan keselamatan rakyat. “Wajar jika ada yang mengatakan kita belum merdeka, hanya berpindah tangan,” ucapnya.
Dari Lampung, Sumaindra dari LBH Lampung menyebut bahwa PLTU Sebalang dan stockpile batubara ilegal telah memicu banyak kasus ISPA dan penyakit kulit. Ia menegaskan pentingnya transisi energi sebagai bentuk pemenuhan hak rakyat atas lingkungan sehat.
Direktur LBH Padang, Diki Rafiqi, mengatakan bahwa negara telah gagal menjamin hak dasar masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU Ombilin dan Teluk Sirih. “Warga hidup dalam bayang-bayang ancaman tanpa perlindungan,” ujarnya.
Sementara itu, Sahwan dari Yayasan Anak Padi Lahat menyoroti dampak serius PLTU Keban Agung terhadap petani lokal, serta banjir yang makin sering terjadi akibat kerusakan daerah aliran sungai. Boni dari Perkumpulan Sumsel Bersih menambahkan bahwa pembangunan PLTU batubara harus dihentikan, mengingat Sumatera Selatan telah melampaui target bauran energi baru dan terbarukan (EBT).
Arlan dari Koalisi Aksi Penyelamat Lingkungan (KAPL) menyuarakan kekhawatiran atas kondisi Sungai Musi yang tercemar akibat aktivitas angkutan dan stockpile batubara. Ia menuntut pencabutan izin seluruh stockpile di sepanjang sungai tersebut.
“Kami meminta Gubernur Sumatera Selatan, Herman Deru, untuk memimpin konsolidasi lintas provinsi dalam mempercepat pemensiunan PLTU batubara dan mendorong Presiden Prabowo melakukan pemulihan bagi korban serta lingkungan yang rusak,” tegas Arlan, yang juga merupakan Koordinator Aksi “Sumatera Menolak Punah”.
Hingga rilis ini diterbitkan, sebanyak 4.920 jiwa di sekitar tujuh PLTU batubara di Sumatera masih menanggung dampak buruk polusi udara, tanpa kejelasan perlindungan maupun solusi jangka panjang dari pemerintah. (Rls)