back to top
Sabtu, Desember 13, 2025
BerandaBengkulu SelatanWALHI–KontraS–KPA Desak Polda Ambil Alih Penanganan Kasus Penembakan Petani Bengkulu Selatan

WALHI–KontraS–KPA Desak Polda Ambil Alih Penanganan Kasus Penembakan Petani Bengkulu Selatan

Jakarta – Pasca peristiwa penembakan terhadap lima petani Pino Raya, Bengkulu Selatan pada 24 November 2025 oleh pihak keamanan PT Agro Bengkulu Selatan (ABS), Kepolisian Resor Bengkulu Selatan telah membuat laporan polisi. Namun selain menerima laporan terkait penembakan tersebut, Polres Bengkulu Selatan juga membuka laporan atas dugaan penganiayaan terhadap pihak keamanan PT ABS.

Sebelumnya, para petani melalui kuasa hukumnya telah melaporkan dugaan tindak pidana penganiayaan berat, percobaan pembunuhan, dan kepemilikan serta penggunaan senjata api tanpa hak. Namun laporan tersebut dipreteli, karena petugas penerima laporan hanya mencatat dugaan tindak pidana penganiayaan dengan berbagai alasan—mulai dari sistem komputer yang diklaim tidak dapat memuat pasal yang dimohonkan, hingga arahan agar pelapor hanya memasukkan satu pasal. Terkait dugaan penyalahgunaan senjata api, polisi mengarahkan agar dibuat melalui laporan model A.

Dalam prosesnya, laporan polisi hanya dimuat dengan dua pasal, yakni Pasal 351 ayat (2) KUHP dan Pasal 1 ayat (1) UU Darurat. Namun pada tahap penyelidikan, laporan kembali dipangkas menjadi hanya Pasal 351 ayat (2) KUHP. Hal ini membuat pelapor kehilangan hak untuk memperoleh perkembangan penanganan terkait penyalahgunaan senjata api, mengingat laporan model A—yang pelapornya adalah polisi—tidak mewajibkan penyidik memberi pemberitahuan kepada korban atau masyarakat.

Baca Juga:  Senator Destita: Ramadan Momentum Pererat Hubungan Legislatif dan Masyarakat

Kuasa hukum telah menyampaikan surat keberatan atas penerapan pasal tersebut. Namun hingga kini belum ada jawaban resmi, dengan alasan surat tersebut masih berada di meja Kapolres Bengkulu Selatan.

Perwakilan petani Pino Raya, Edi Hermanto, yang juga korban penembakan, menyatakan:

“Kami telah menerima banyak intimidasi dari perusahaan, aparat penegak hukum, pemerintah kecamatan hingga pemerintah kabupaten. Kami meminta konflik agraria ini segera diselesaikan dan penanganan perkara penembakan terhadap kami segera diusut demi kepastian dan keadilan.”
Edi juga menambahkan bahwa para petani membutuhkan jaminan perlindungan dan rasa aman agar dapat kembali beraktivitas dan mengakses lahan secara normal.

Dari sisi pendamping hukum, Ricki Pratama Putra dari Akar Law Office mengungkapkan adanya banyak pelanggaran prosedur.

“Saat saksi-saksi dipanggil, kami menemukan anggota Polres Bengkulu Selatan sedang meminum minuman tradisional (tuak). Selain itu, selama pemeriksaan, suara musik di ruang Opsnal dibiarkan keras sehingga mengganggu kenyamanan saksi,” ungkapnya.

Ia juga menambahkan bahwa berdasarkan informasi dari pihak rumah sakit, Polres Bengkulu Selatan tidak mengambil visum et repertum korban penembakan, tetapi hanya mengambil visum terkait laporan perusahaan mengenai dugaan penganiayaan. Hal ini memunculkan dugaan kriminalisasi terhadap korban dan diskriminasi hukum.

Baca Juga:  Warga Kota Manna Desak Perbaikan Sistem Zonasi dan Validasi Data Bansos dalam Reses Senator Destita

Julius Nainggolan dari WALHI Bengkulu menjelaskan para petani telah mengajukan laporan dan pengaduan ke Kompolnas, LPSK, Kementerian Hukum dan HAM, serta Komnas HAM untuk meminta pengawasan, perlindungan, dan pemantauan.

Ia juga menyoroti bahwa meski telah ada kesepakatan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk menutup sementara PT ABS pasca penembakan, perusahaan diduga tetap beroperasi dan tidak mematuhi keputusan tersebut.

Sebelum penembakan, para petani juga kerap mengalami teror berupa ancaman pembunuhan dan pelecehan seksual verbal, namun laporan-laporan tersebut tidak menunjukkan perkembangan berarti.

Julius menegaskan bahwa operasi PT ABS sejak 2017 hingga 2025 adalah ilegal karena tidak memiliki HGU berdasarkan keterangan Kanwil ATR/BPN. HGU baru diterbitkan pada 2025, sehingga selama delapan tahun negara mengalami kerugian ekonomi. WALHI Bengkulu telah melaporkan perusahaan ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dari KontraS, Andrie Yunus menyatakan kecaman keras atas peristiwa penembakan dan kekerasan terhadap petani.

“Penyidikan tidak boleh berhenti pada pelaku lapangan. Pimpinan perusahaan dan satuan kerja kepolisian yang memberi izin juga harus diproses. Kami menuntut Divisi Propam dan Rowassidik Bareskrim Polri melakukan pengawasan ekstra, termasuk mendorong agar penanganan kasus diambil alih oleh Polda Bengkulu dan segera menetapkan tersangka.”

Baca Juga:  Bengkulu Selatan Jadi Sorotan Nasional, 500 Pebalap Ikuti Kejurnas MotoPRIX Piala Presiden

Dari KPA, Roni Septian menegaskan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab menyelesaikan akar konflik.

“Menteri ATR harus berani membatalkan HGU perusahaan yang diterbitkan secara melawan hukum. Ini satu-satunya cara memulihkan hak atas tanah petani,” ujarnya.

Ia juga menyebut bahwa dalam satu dekade terakhir telah terjadi 1.242 kasus perampasan tanah, mayoritas oleh perkebunan sawit, dan tidak ada alasan lagi untuk menunda pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria.

Dari WALHI Nasional, Uli Arta Siagian menegaskan bahwa perjuangan petani bukan hanya soal hak atas tanah, tetapi juga hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Ia memperingatkan bahwa ekspansi sawit berskala besar akan merusak lingkungan, menghilangkan hutan, dan memicu bencana ekologis.

“Jika pemerintah mau belajar dari bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar, seharusnya HGU PT ABS segera dicabut, dan dugaan pidana serta korupsi perusahaan diproses,” tutupnya.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments

- Advertisment -

[wpforms id="149" title="true" description="true"]