Eks Menkes Siti Fadilah Supari Minta Indonesia Waspada Pandemi Baru

3
Menteri Kesehatan Republik Indonesia periode 2004–2009, Siti Fadilah Supari.

Jakarta – Menteri Kesehatan Republik Indonesia periode 2004–2009, Siti Fadilah Supari, menanggapi kabar mengenai potensi munculnya virus baru pada tahun 2025. Ia menyebut kemungkinan tersebut bukan isapan jempol, terutama dengan adanya Pandemic Treaty dan amandemen International Health Regulation (IHR) yang diinisiasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

“Pandemi itu sudah dinyatakan pasti akan ada. Next pandemic katanya terjadi pada 2025 ini. Yang menyatakan itu bukan orang sembarangan, melainkan Bill Gates,” ujar Siti Fadilah dalam podcast EdShareOn bersama Eddy Wijaya yang tayang Rabu, 30 April 2025, dan dikutip Jumat (2/5/2025).

“Itu bukan sekadar wacana, WHO bahkan telah menyiapkan aturan hukumnya untuk seluruh dunia,” tambahnya.

Pandemic Treaty, atau nama resminya WHO Convention, Agreement or Other International Instrument on Pandemic Prevention, Preparedness, and Response (WHO CA+ on PPPR), merupakan perjanjian internasional yang dirancang untuk mengatur kesiapan dan penanganan pandemi oleh 194 negara anggota WHO.

Perjanjian ini telah dibahas dalam sidang World Health Assembly (WHA) ke-77 pada 27 Mei–1 Juni 2024 di Jenewa, Swiss, namun belum disahkan. Target pengesahan ditetapkan pada WHA ke-78 yang dijadwalkan tahun ini. Sementara itu, amandemen IHR telah disetujui dalam WHA ke-77, menggantikan regulasi IHR 2005, yang mengatur hak dan kewajiban negara-negara dalam melaporkan kejadian kesehatan masyarakat global.

Baca Juga:  Pembangunan RS Mata Merah Putih Ditargetkan Rampung Tahun Ini

Menurut Siti Fadilah, prediksi akan munculnya virus baru diperkuat oleh langkah WHO dalam mengoordinasi pelatihan dan produksi vaksin, hingga munculnya wabah-wabah baru di berbagai negara.

“WHO sudah melatih negara-negara miskin dan berkembang untuk membuat vaksin mRNA flu burung. Menurut saya, pandeminya bisa jadi flu burung—meskipun belum pasti. Tapi kita lihat banyak isu muncul, seperti Mpox atau ebola di Afrika, HMPV di China,” ujarnya.

“Di Amerika, Australia, dan Kanada ada flu burung. Florida bahkan alami TBC. Pertanyaannya, apakah akan muncul epidemi-epidemi kecil atau satu pandemi besar seperti Covid-19? Itu dua kemungkinan yang patut diwaspadai,” jelas lulusan program doktoral Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) tahun 1996 itu.

Ia berharap pemerintah Indonesia bersikap waspada terhadap potensi penyebaran virus baru, termasuk dengan mempertimbangkan pengembangan Immunotherapy Nusantara yang diprakarsai mantan Menkes dan Penasihat Khusus Presiden Prabowo, Terawan Agus Putranto.

“Mudah-mudahan Penasihat Presiden menyampaikan kepada Bapak Presiden, bahwa Immunotherapy Pak Terawan bisa menjadi alternatif yang sangat bagus jika pandemi benar-benar terjadi,” tuturnya.

Bahaya Pandemic Treaty, Amandemen IHR, dan UU Kesehatan

Siti Fadilah juga mengkritisi sejumlah regulasi internasional dan nasional yang dinilainya berpotensi mengancam kedaulatan negara dalam penanganan pandemi.

Baca Juga:  Senator Destita Dorong Pemerataan Beasiswa dan Peningkatan Akses Disabilitas ke Pendidikan Tinggi

“Ada tiga hal yang seharusnya dilakukan pemerintah: satu, tolak Pandemic Treaty; dua, mundur dari amandemen IHR; tiga, cabut kewajiban vaksin dari Omnibus Law Kesehatan,” tegasnya.

Menurut dokter spesialis jantung kelahiran Solo, 6 November 1950 itu, Pandemic Treaty bisa merugikan negara karena WHO akan memiliki kewenangan mengintervensi langsung kebijakan kesehatan nasional.

“Semua negara harus tunduk pada WHO. Walaupun dikemas seolah-olah untuk keadilan dan distribusi vaksin global, pasal-pasalnya sebenarnya menggerus kedaulatan negara,” paparnya.

Hal serupa juga ia sampaikan terkait amandemen IHR, yang dinilainya disahkan secara tidak adil dan mengandung pasal-pasal yang memberi WHO kewenangan luas.

“Isinya menakutkan. Teknik-tekniknya dirancang agar negara tak berdaya. Apa pun soal pandemi, mereka yang atur,” ujar Siti Fadilah.

Ia juga menyoroti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (Omnibus Law Kesehatan), yang menurutnya mengadopsi semangat Pandemic Treaty dan amandemen IHR, khususnya pada Pasal 446.

Pasal tersebut mengatur sanksi pidana dan denda maksimal Rp500 juta bagi siapa pun yang menghalangi penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah.

Baca Juga:  Wakil Ketua Komisi III Sahroni Apreasi Polri-TNI Amankan Aksi Demo 25 Agustus

“Kalau ada orang yang tidak mau disuntik, bisa dianggap menghalangi program pemerintah dan dipidanakan,” ujarnya.

“Kalau Omnibus Law ini diterapkan, vaksinasi bisa dipaksakan dari RT ke RT, RW ke RW. Anak sekolah, pejalan kaki pun bisa langsung divaksin. Mengerikan,” tutup Siti Fadilah. []

\ Get the latest news /