Baru-baru ini publik dihebohkan oleh beredarnya sebuah video yang menampilkan cekcok mulut antara sekelompok wali murid dan para guru di sebuah rumah makan di Kota Bengkulu. Video ini viral di media sosial dan memantik berbagai tanggapan dari masyarakat. Betapa tidak, adegan saling adu argumen di depan umum itu melibatkan pihak yang seharusnya menjadi contoh dalam membangun suasana pendidikan yang sehat: orang tua dan guru.
Peristiwa ini diduga berawal dari sebuah kesalahpahaman dalam kegiatan sekolah yang berujung pada adu mulut panas. Sayangnya, alih-alih menyelesaikan masalah secara dewasa dan musyawarah, insiden ini malah diviralkan ke ruang publik, seolah-olah ingin mencari pembenaran atau simpati dari khalayak ramai. Padahal, menurut penuturan salah satu peserta kegiatan tersebut, persoalan yang terjadi sejatinya hanyalah salah paham yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan tanpa perlu berujung pada keributan terbuka.
Hal ini sungguh sangat disayangkan. Dunia pendidikan seharusnya menjadi ruang suci tempat nilai-nilai kesantunan, kebijaksanaan, dan keteladanan ditanamkan bukan malah tercoreng oleh perilaku arogan dan emosional dari orang-orang dewasa yang lupa menahan diri. Perlu diingat, baik guru maupun wali murid adalah dua pilar penting yang harus saling bersinergi dalam mencetak generasi masa depan yang berakhlak mulia, cerdas, dan berkarakter. Jika salah satu pilar ini runtuh karena ego pribadi, maka masa depan pendidikan pun terancam.
Guru adalah pendidik yang tugasnya tak hanya mengajar, tetapi juga membimbing, membentuk karakter, dan menanamkan nilai-nilai moral kepada anak didiknya. Di sisi lain, orang tua adalah pendidik utama di rumah yang semestinya menunjukkan sikap hormat dan saling menghargai kepada guru, agar anak-anak belajar untuk melakukan hal serupa. Jika kedua pihak ini justru mempertontonkan pertikaian di depan publik, bahkan di depan anak-anak sendiri, apa yang akan ditiru oleh generasi penerus bangsa?
Pendidikan bukan hanya soal transfer ilmu, melainkan juga penanaman nilai kehidupan. Konflik yang terjadi di lingkungan pendidikan seharusnya menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya komunikasi, empati, dan penyelesaian masalah secara dewasa. Namun ketika konflik itu justru dipamerkan secara terbuka tanpa kendali, maka pesan buruklah yang sampai ke anak-anak: bahwa emosi boleh mengalahkan akal sehat, bahwa arogansi boleh mengalahkan adab.
Tentu kita semua memahami, tidak ada pihak yang sempurna baik guru maupun orang tua pasti punya kekurangan. Namun, setiap perbedaan pandangan atau ketidakpuasan seharusnya dapat dibicarakan secara elegan, dengan dialog terbuka dan saling menghormati. Ruang musyawarah selalu tersedia, asalkan ada niat baik dan ketulusan untuk menyelesaikan masalah tanpa melibatkan emosi berlebihan.
Jangan biarkan dunia pendidikan menjadi panggung pertarungan ego. Jangan rusak nilai luhur pendidikan hanya karena amarah sesaat. Guru dan orang tua harus menjadi teladan akhlak bagi anak-anak, bukan sumber kegaduhan yang mencemari pikiran dan hati mereka. Bila contoh buruk dipertontonkan, jangan salahkan anak-anak jika kelak mereka tumbuh menjadi generasi yang kasar, mudah marah, dan kehilangan respek pada orang lain.
Marilah kita renungkan bersama: apa yang ingin kita wariskan kepada generasi penerus? Apakah kebiasaan menyelesaikan masalah dengan teriakan dan pertengkaran? Atau budaya dialog santun, penuh hikmah, dan menjunjung tinggi etika? Pilihan ada di tangan kita semua orang tua, guru, dan masyarakat luas.
Jaga marwah dunia pendidikan. Hilangkan ego, tundukkan arogansi, dan utamakan akal sehat serta kesabaran. Dunia pendidikan terlalu mulia untuk dikotori oleh kepentingan dan emosi pribadi. Biarkan sekolah, guru, dan anak-anak kita tumbuh dalam lingkungan yang penuh kedamaian, keteladanan, dan rasa hormat demi masa depan bangsa yang lebih baik.
***
Ahmad Nasti Nasution, Reporter & Owner Radja Teralis.