
Jakarta – Gerakan #BersihkanIndonesia mengecam pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) oleh DPR RI. Revisi ini dinilai tidak membawa perbaikan dalam tata kelola sektor pertambangan, melainkan justru memperkuat dominasi industri ekstraktif, mengabaikan hak masyarakat terdampak, serta semakin menjauhkan Indonesia dari agenda transisi energi yang berkeadilan.
Pemerintah berdalih bahwa perubahan UU Minerba akan meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi dan industrialisasi. Namun, pasal-pasal dalam revisi ini justru memperpanjang ketergantungan pada industri batubara dan memfasilitasi ekspansi pertambangan tanpa memperhatikan dampak ekologis dan sosialnya. Salah satu poin yang menjadi perhatian adalah pengutamaan kebutuhan batubara dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO), yang berpotensi menghambat transisi ke energi bersih dan memperpanjang penggunaan energi kotor.
Keputusan untuk tidak mengubah tata ruang dan kawasan bagi pemegang izin tambang (IUP, IUPK, IPR) menunjukkan keberpihakan UU ini pada kepentingan korporasi dibandingkan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat. Banyak izin tambang yang berada di kawasan hutan atau tumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat adat dan petani, yang seharusnya dipulihkan demi keadilan ekologis dan sosial.
Greenpeace menyoroti lemahnya komitmen terhadap perlindungan lingkungan dalam revisi UU ini. Persyaratan audit lingkungan dalam perpanjangan kontrak karya dan PKP2B tidak disertai dengan sanksi tegas bagi perusahaan yang merusak lingkungan.
“Banyak perusahaan tambang mengabaikan pemulihan lahan bekas tambang, meninggalkan lubang-lubang yang membahayakan masyarakat dan ekosistem sekitar,” ujar Bondan Andriyanu, Juru Bicara #BersihkanIndonesia dan Team Leader Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Proses pengesahan UU Minerba yang terkesan terburu-buru mencerminkan kepentingan jangka pendek segelintir elit, mengabaikan urgensi mengatasi krisis iklim.
“Jika dalihnya adalah membuka kesempatan bagi masyarakat melalui BUMD, UMKM, koperasi, badan usaha ormas keagamaan, hingga perguruan tinggi, seharusnya energi terbarukan berbasis masyarakat yang lebih didorong dengan regulasi yang memudahkan,” ungkap Sisilia Nurmala, Team Leader 350 Indonesia.
RUU Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) yang diharapkan menjadi landasan bagi pengembangan energi terbarukan terus mengalami penundaan akibat tarik-menarik kepentingan. Sementara itu, revisi UU Minerba yang memperkuat dominasi energi kotor dapat disahkan dengan cepat, menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR lebih berpihak pada industri batubara dibandingkan komitmen pengurangan emisi dan keadilan energi.
Ketentuan baru dalam Pasal 169A yang memungkinkan perpanjangan izin hingga 10 tahun bagi perusahaan batubara tanpa mekanisme evaluasi ketat semakin mengukuhkan dominasi oligarki energi kotor. Selain itu, Pasal 51B yang membuka peluang pemberian WIUP prioritas untuk hilirisasi hanya akan memperdalam ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap batubara, alih-alih mendorong diversifikasi energi terbarukan.
ICW menilai Pasal 51 masih sarat dengan nuansa politik patronase. Meskipun perguruan tinggi tidak lagi diberi kewenangan sebagai pengelola izin tambang, hal ini tidak serta-merta menghilangkan potensi praktik korupsi. Kampus berisiko kehilangan daya kritisnya karena bergantung pada manfaat yang diberikan oleh korporasi tambang. Korporasi juga dapat mengendalikan kampus dengan memasukkan agenda-agenda yang menguntungkan elite.
Lebih lanjut, Pasal 51 yang mengatur pemberian prioritas WIUP membuka celah korupsi, di mana pejabat dapat melakukan favoritisme, suap, dan gratifikasi. Tanpa mekanisme yang transparan dan akuntabel, WIUP hanya akan jatuh ke tangan pihak-pihak berkepentingan yang dekat dengan kekuasaan.
“Skema ini juga rentan disalahgunakan oleh pengusaha besar yang menyamar sebagai UMKM atau koperasi demi mengamankan izin tambang tanpa proses lelang yang adil,” ujar Egi Primayogha, Peneliti ICW.
Revisi UU Minerba juga berpotensi memperparah dampak lingkungan bagi masyarakat yang bermukim di sekitar PLTU. Ketergantungan pada energi fosil meningkatkan pencemaran udara, risiko kesehatan bagi rakyat, serta menghambat upaya transisi energi bersih dan berkeadilan.
“Revisi ini menunjukkan bahwa kepentingan industri batubara lebih diutamakan dibandingkan perlindungan lingkungan dan kesehatan rakyat,” kata Wahyu Eka Styawan, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur.
Ali Akbar, Konsolidator Sumatera Terang untuk Energi Terbarukan (STUEB), menekankan bahwa revisi ini akan memperburuk konflik horizontal antara masyarakat terdampak pertambangan dengan institusi seperti ormas, UMKM, dan koperasi.
“Ketika hanya korporasi yang mengelola tambang saja sudah karut-marut, apalagi jika ormas besar juga ikut mengelola tambang. Rakyat korban akan semakin sulit mendapatkan keadilan atas lingkungan hidup yang baik dan bersih,” ujarnya.
Selain meningkatkan risiko konflik sosial, revisi ini juga berpotensi memperbesar angka kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya. “UU Minerba yang baru masih mempertahankan ketentuan kriminalisasi terhadap masyarakat dan menarik sistem perizinan ke pusat, yang semakin mempersempit ruang gerak masyarakat dalam mengawasi eksploitasi sumber daya alam,” ungkap Muhamad Isnur, Ketua Umum YLBHI.
Di sisi lain, revisi ini juga mempermudah perampasan tanah. Pasal 17A menyebutkan bahwa dalam hal belum terdapat penetapan tata ruang dan/atau kawasan, penetapan WIUP menjadi dasar bagi pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan pertambangan. Dengan adanya pasal ini, tata ruang suatu wilayah dapat disesuaikan dengan lokasi tambang, meskipun berada di area permukiman atau lahan warga. “Ke depan, perampasan tanah petani dan masyarakat pedesaan dapat dengan mudah dilakukan dengan alasan bahwa area tersebut tidak cocok untuk permukiman atau bertani karena mengandung batubara di bawahnya,” tambah Isnur.
Gerakan #BersihkanIndonesia menuntut Presiden untuk segera membatalkan pengesahan UU Minerba yang telah disetujui DPR RI. Kami juga mendesak DPR dan pemerintah untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU EBET dengan memasukkan prinsip-prinsip keadilan energi, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Pemerintah harus menunjukkan komitmen nyata dalam transisi energi yang berkeadilan dengan mengakhiri ketergantungan pada industri batubara dan berinvestasi pada energi terbarukan serta ekonomi yang lebih berkelanjutan.
“Kami juga menyerukan kepada masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas terdampak untuk terus mengawal dan menolak regulasi yang hanya menguntungkan elite bisnis dan mengorbankan masa depan lingkungan serta generasi mendatang,” tutup Bondan. (Redaksi)